Sebuah reply tuk Luhung Mardi
Menulang emas di timbunan pasir
Jauh tertanam di dalam tanah
Seperti mengharap mentari terbit di barat
Atau Air samudera raya ada di cakrawala
Sekandung badan seragam darah
Satu berhunus pedang
Yang lain berpegang tameng putih menyala
Kalau dia bilang pentung,
Berarti satu yang lain akan bersumber pada trikasta
Jika katanya, Dia, Dia, Dia, dan Dia
Lalu siapa si manunggal : ternyata?
Dalam balutan satu warna saja berdarah,
Apalagi pelangi dalam untaian warna
Jika si pemanggil manunggal berlantang
Akan ujung dan akhir
Lalu siapa gerangan terkumandang
Dua dalam satu kumpulan pinang di belah dua
Tak ada paksa dalam tentuan titik
Apalagi jika sehelai rambut di belah tujuh
Biarkan senyawa menoreh tinta
Dalam setiap bejana hayat manusia
Karena pada akhirnya
Semua tak tahu,
Juga,……tak pernah bersuanya : aku – kamu
Dengan Dia, Dia, Dia, Dia, dan Dia itu
Jika ucap-nya, bermula dari kata,
Itu benar , karena ada pada mulanya
“Ada sebelum Ada” dan diam - ketika gelap tercipta
Sungguh ironi,
Bak kapal terombang - ambing di laut lepas
Tak ada labuh – Tak ada suar
Tak ada akhir, apalagi titik
Hai - seruanku pada mereka dalam hingar
Hai – seruanku diantara desingan dan dentuman
Diantara sayatan dan keamisan
Aku menari atau menyanyi
Aku menangis atau terbahak dalam sedakan
Ketika dia bilang bersalah, lalu siapa yang benar
Ketika dia bilang kotor, lalu siapa yang bersih
Ketika dia bilang nomor satu………
Lalu siapa yang mau jadi nomor dua?
Bahkan nomor tiga, empat, lima?
Biarkan satu dengan satu
Dua dengan dua, yang merasa satu
Karena manunggal sudah tentu
Untuk berkata : “Iya…aku, bukan kamu…”
Mustahil saja semua itu
Bisakah menghukum sang penghukum
Menolak jika itu bukan landas, tapi pijakan kaki
Bisakah berlantang sekali lagi :
“Ini aku, dan bukan kamu, kamu, kamu atau kamu”
Ke surga atau ke neraka, dia berkata
Atau hanya antaranya……….
Siapa tahu dan siapa mau?
Ke kiri jika berharap ke kanan
Ke atas jika berharap ke bawah
Ke depan jika berharap ke belakang?
Insan hanya hembusan nafas
Dari buliran debu tak kasat mata,
Hilang tak berbekas dalam tiupan
Tapi sempurna dalam Mahakarya
Disamakan......
Diratakan……..
Disatukan.....
Dari serakan
Tak bisa dengan mudah dalam ikatan
Pelik dan sungguh rumit
Sulit dan amat sukar
Jika sudah tujuh – delapan - atau sembilan
Biarkan terurai dalam serakan
Satu lemah seribu gagah
Biarkan dia dengan Dia , Dia, Dia, atau Dia nya
Tak ada yang sanggup melompat seperti katak,
Jika dia babon…….
Tak ada yang dapat seperti babon, jika dia katak
Biarkan lembu tetap meladang
Dan domba tetap merumput
Karena mentari terbenam di barat
Dan air tetap di laut
Pada akhirnya aku tak tahu
Kamu – juga dia, tak tahu
Hanya Dia yang tertinggal dalam akhir
Yang tahu,
Yang tahu,
Yang tahu, dan sungguh,
Kuberitahu, Dia itu tahu.
Yang terakhir, untuk kamu,
Kamu, kamu, dan kamu
Sedalam apa aku mencari
Setinggi apa aku menengadah
Sehikmat apa aku berlaku
Biarkan,sama seperti kamu,
Kamu, kamu, dan kamu
Keterkekanganku, dan keterkekanganmu
Seciut apapun jalan berliku,
Atau seberingas apa walau dalam tawanan
Aku, tetap melaju,
Sama seperti kamu, kamu, kamu dan kamu
Apalagi yang kita mau?
Atau yang kamu, kamu kamu, dan kamu mau?
07 Juli 2011
Dari 4 penjuru mata angin
Dari dua sisi gelap dan terang
Dari timur dsampai kebarat
Sebuah puisi dari hati
0 komentar:
Posting Komentar